Letak geografis
Kota Banda Aceh berada antara 05º30′ – 05º35′ LU dan 95º30′ – 99º16′ BT, yang
terdiri dari 9 kecamatan, 70 desa dan 20 kelurahan dengan luas wilayah
keseluruhan ± 61,36 km².Adapun batas-batas administrasi wilayah Kota Banda Aceh
adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul
Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan
Bada, Kabupaten Aceh Besar
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Barona Jaya
dan Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar
Gambaran Wilayah dalam Lingkup Lebih Luas
Dalam Sistem
Perkotaan Nasional, Kota Banda Aceh ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah
(PKW) sebagaimana yang dikemukakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008, yang disusun berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007. Namun seiring dengan isu
penataan ruang yang mendasari perumusan tujuan, kebijakan dan strategi penataan
ruang Kota Banda Aceh 20 tahun ke depan, maka hirarki Kota Banda Aceh diusulkan
untuk dipromosikan dan ditetapkan sebagai Pusat
Kegiatan Nasional (PKNp). Penetapan Kota
Banda Aceh sebagai PKNp ini juga sejalan dengan Kebijakan dan Strategi Penataan
Ruang serta Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi yang ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh Tahun 20092029. Beberapa faktor
yang mendasari penetapan sebagai PKNp tersebut adalah :
- Kota Banda Aceh sebagai Ibukota Provinsi Aceh;
- Kota Banda Aceh sebagai pintu gerbang provinsi dari segi transportasi laut dan udara
- Fungsi Kota Banda Aceh sebagai pusat pelayanan pemerintahan, perdagangan dan jasa, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pusat keagamaan;
- Dukungan nilai historis yang terdapat di Kota Banda Aceh untuk pengembangan kegiatan pariwisata.
Rencana sistem
pusat pelayanan dimaksudkan untuk memperjelas hirarki kota sesuai dengan
struktur kota yang ditetapkan sehingga diperoleh suatu sistem pemanfaatan ruang
yang optimal untuk setiap bagian kota. Dalam realitanya, pengembangan sistem
pusat pelayanan akan mempermudah masyarakat kota untuk mendapatkan pelayanan
sarana dan prasarana perkotaan.
Pembagian sistem pusat pelayanan dilakukan atas dasar pertimbangan
sebagai berikut :
- Fungsi Kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan provinsi, pusat perdagangan dan jasa, pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan, pusat keagamaan
- Penetapan Kota Banda Aceh sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang dipromosikan sebagai Pusat Kegitan Nsional (PKNp) dalam Rencana Sistem Perkotaan Nasional
- Jangkauan pelayanan secara fungsional
- Aksesibilitas antar kawasan dan antar wilayah
- Kelengkapan dan pemusatan sarana dan prasarana
- Efisiensi pemanfaatan lahan
Pemanfaatan Ruang
Kota
1) Penggunaan Lahan
Arahan zonasi
fisik Banda Aceh, yang secara garis besar terbagi atas Kawasan Pengembangan
Terbatas (Restristic Development Area,
meliputi zona I, II, dan III), Kawasan Pengembangan (Promoted Development Area, zona IV). pola penggunaan lahannya
yang terdiri dari kawasan terbangun seluas 2.124,95 Ha atau 34,63% dan kawasan
non terbangun berupa ruang terbuka seluas 4.010,95 Ha atau 65,37%. Kawasan
terbangun meliputi permukiman, perkantoran baik pemerintah maupun swasta,
pelayanan umum, perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan
wisata, pelabuhan, peribadatan, dan kesehatan, sedangkan ruang terbuka meliputi
taman, hutan kota, kawasan lindung, kuburan, rawa-rawa, dan tambak atau areal
genangan. pembangunan perumahan baru kondisi sesudah bencana gempa
dan tsunami di kawasan prioritas umumnya adalah rumah kavling sedang (antara
200-500 m²), kavling besar (di atas 500 m²) dan bahkan ada pembangunan rumah
dengan ukuran kavling sangat besar (di atas 1.000 m²)
ARAHAN
KESESUAIAN ZONASI FISIK DI KOTA BANDA ACEH PASCA TSUNAMI
PETA PENGGUNAAN TANAH EKSISTING
2) Kecenderungan Perkembangan Kota
Perkembangan
Kota Banda Aceh dapat dikategorikan dalam pola tumbuh ”Multi Nuclei Model” atau yang mempunyai beberapa titik tumbuh.
Pola pertumbuhan dari titik-titik tumbuh tersebut ternyata mempunyai
kecenderungan pola linier dan berkembang mengikuti jaringan jalan sehingga
menunjukkan pola pengembangan ruang dengan Linear Growth Model. Dari struktur
ruang yang ada terlihat bahwa arah kecenderungan perkembangan perkotaan (Kota
Banda Aceh) mengarah ke selatan (berbatasan langsung dengan Aceh Besar) maka
pusat pelayanan kota (perdagangan dan jasa), sport center (Pusat Olahraga) di Lhong Raya berada diperbatasan
antara wilayah Kota Banda Aceh dengan wilayah Kabupaten Aceh Besar. Dengan
demikian, kecenderungan pusat perkotaan Banda Aceh untuk mendatang diperkirakan
mengarah ke Selatan di Kawasan Batoh/Lamdom bahkan sampai ke wilayah Kabupaten
Aceh Besar (Keutapang dan Lambaro).
Kependudukan
A. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk kota Banda Aceh sebelum
terjadinya bencana Tsunami adalah sekitar 230.828 jiwa Pasca terjadinya
tsunami, jumlah penduduk Kota Banda Aceh berkurang secara drastis yaitu sebesar
sekitar 25,61%. Menurut sensus yang dilakukan oleh pemerintah kota jumlah
penduduk sebelum tsunami adalah sebanyak 239.146 jiwa dan tereduksi menjadi
177.881 jiwa, dengan jumlah kehilangan (meninggal dunia atau hilang) sebanyak
61.265 jiwa.
pada tahun 2007
terjadinya peningkatan jumlah penduduk sebesar 219.857 jiwa atau terjadinya
pertumbuhan penduduk sebesar 11,8 % per-tahun dalam kurun waktu tiga tahun yaitu
dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Berdasarkan
angka tingkat pertumbuhan penduduk tersebut, maka untuk pertumbuhan penduduk
Kota Banda Aceh ke depan diproyeksikan dengan menggunakan model bunga berganda.
PROYEKSI
PENDUDUK KOTA BANDA ACEH TAHUN 2009-2029
TAHUN
|
JUMLAH PENDUDUK
|
KETERANGAN
|
2007
|
219.857 Jiwa
|
Tahun Dasar
|
2008
|
245.800 Jiwa
|
Pertumbuhan 11,8%
|
2009
|
274.805 Jiwa
|
Pertumbuhan 11,8%
|
2010
|
307.231 Jiwa
|
Pertumbuhan 11,8%
|
2011
|
314.605 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2012
|
322.156 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2013
|
329.887 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2014
|
337.805 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2015
|
345.912 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2016
|
354.214 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2017
|
362.715 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2018
|
371.420 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2019
|
380.334 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2020
|
389.462 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2021
|
398.809 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2022
|
408.381 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2023
|
418.182 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2024
|
428.218 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2025
|
438.495 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2026
|
449.019 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2027
|
459.796 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2028
|
470.831 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
2029
|
482.131 Jiwa
|
Pertumbuhan 2,4%
|
Sumber: BPS
Tahun 2008 dan Hasil Perhitungan Proyeksi.
Dari hasil
proyeksi tersebut diperoleh jumlah penduduk di Kota Banda Aceh hingga tahun
2029 yaitu sebanyak 482.131 jiwa. Jumlah ini telah mempertimbangkan faktor
pertumbuhan alamiah, migrasi, dan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat
Kondisi
Sosial Budaya
1) Kondisi
Sosial
"Hukom" (dalam arti
aturan-aturan Agama Islam) merupakan wewenang para ulama yang dilambangkan pada
Ulama Besar yang terkenal "Tgk. Syiah Kuala (Syekh Abdurrauf)".
Urusan "qanun" seperti
tertib sopan santun didalam perkawinan dan lain-lain diserahkan menjadi urusan
Maharani, yang dilambangkan dengan Putroe Phang (Putri Pahang). Urusan "reusam" (kebiasaan) menjadi
wewenang panglima kaum dan bentara-bentara di masingmasing tempat atau negeri. "Hukom ngon adat lagee zat ngon
sipheut" adalah hukum dengan adat terjalin erat bagaikan zat dengan
sifat.
2) Sifat
Gotong Royong
Konsep gotong
royong dikalangan masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan "Meuyo ka mufakat lampoh jeurat pih ta pengala", artinya
kalau sudah mufakat, tanah kuburan keluargapun bisa kita gadaikan.
3) Kehidupan
Religius
Masyarakat Aceh
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan ajaran agama Islam, sehingga di setiap
sendi-sendi kehidupan tidak pernah lepas dari pengaruh agama Islam. Dari
prinsip hidup masyarakat Aceh itulah barangkali yang menjadi salah satu faktor
penyebab lahirnya istilah daerah Aceh sebagai "Serambi Mekkah", dan faktor itu pula sebagai salah satu
ukuran untuk menjadikan Aceh sebagai Daerah Istimewa, yang berubah menjadi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Potensi Ekonomi Wilayah
A. Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Banda Aceh atas dasar
harga berlaku (ADHB) tahun 2004 di dominasi oleh sektor ekonomi (lapangan
usaha) berturut-turut: perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 32,29% (Rp.
593.414,91 juta) dari PDRB (Rp
1.838.024,55 juta), pengangkutan dan komunikasi 21,92%, jasa-jasa 17,25%,
pertanian 9,60%, serta bangunan dan konstruksi 8,02% dari PDRB.
DISTRIBUSI
PDRB ATAS DASAR HARGA BERLAKU PER SEKTOR
DI
KOTA BANDA ACEH
Sumber:
Kota Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2000-2004
Nilai PDRB Kota
Banda Aceh atas dasar harga konstan (ADHK) dari tahun 2000 sampai dengan 2004
tumbuh rata-rata sebesar 5,05%. Sektor ekonomi yang mempunyai nilai pertumbuhan
lebih besar dari 5,05% (pertumbuhan PDRB), yaitu: bank dan lembaga keuangan
lainnya 22,69%, serta listrik dan air minum 6,35%. Sektor ekonomi lainnya
mempunyai pertumbuhan lebih kecil dari 5,05%.
B. Kegiatan Ekonomi
Kegiatan-kegiatan ekonomi yang selama ini dianggap dominan pengaruhnya
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Banda Aceh, dapat diuraikan pada
bagian berikut ini.
·
Perdagangan
Sebagai wilayah perkotaan peranan kegiatan perdagangan di Kota
Banda Aceh sangat dominan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa peranan sektor
perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi 32,29% dari PDRB pada
tahun 2004 (ADHB). Adapun pertumbuhan sektor ini dari tahun 2000 s/d 2004
sebesar 2,36% ratarata per tahun (ADHK).
·
Perindustrian
Peranan sektor industri pengolahan di Kota Banda Aceh belum begitu
dominan yaitu 4,02% (Rp 73.895,13 juta) dari PDRB pada tahun 2004 (ADHB).
Adapun pertumbuhan sektor ini dari tahun 2000 s/d 2004 sebesar 2,95% rata-rata
per tahun (ADHK).
·
Pertanian
Peranan sektor pertanian di Kota Banda Aceh yaitu sebesar 9,60%
(Rp 176.394,81 juta) dari PDRB pada tahun 2004 (ADHB). Adapun pertumbuhan
sektor ini dari tahun 2000 - 2004 sebesar 2,71% rata-rata per tahun (ADHK).
Sektor pertanian yang akan diuraikan di bawah ini yaitu subsektor perikanan,
karena subsektor ini memegang peranan penting dalam perekonomian Kota Banda
Aceh.
Potensi Sumber Daya Alam
Kota Banda Aceh
merupakan kota pesisir yang berada di ujung Barat Pulau Sumatera memiliki daya tarik
sendiri untuk mendukung sector pariwisata dan perikanan. Daya tarik ini menjadi
potensi alam yang utama kota dalam meningkatkan perekonomian daerahnya dimasa
yang akan datang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggali dan
mengembangkan potensi alam yang dimiliki tersebut antara lain :
1)
Pengembangan kawasan pantai sebagai wisata alam.
Kawasan ini dibatasi pengembangannya untuk kegiatan fisik perkotaan atau untuk
pengembangan ruang terbuka hijau yan berfungsi sebagai buffer zone. Kawasan ini dapat dikembangkan untuk kegiatan wisata
pantai, wisata air atau bahari, pemancingan, arena perkemahan, kuliner dan
tempat penelitian. Lokasi pengembangan wisata ini adalah di daerah Ulee Lheu,
Gampong Pande, Gampong Jawa, Deah Raya dan Alue Naga.
2)
Pengembangan potensi perikanan. Salah satu
bentuk pengembangan potensi perikanan ini adalah berupa penyediaan lahan utuk
pengembangan industri perikanan yang diarahkan lokasi di Lampulo. Kegiatan
industri perikanan ini berupa pengumpulan dan pengolahan ikan hasil tangkapan
secara terpadu dari nelayan Banda Aceh dan daerah sekitarnya yang siap untuk
kebutuhan sendiri maupun ekspor ke daerah lain dan luar negeri.
ISUE STRATEGIS
Perkembangan pembangunan pasca tsunami di Kota Banda Aceh berjalan
secara pesat dan kurang terkendali yang disebabkan oleh tingginya aktivitas
rehabilitasi/rekonstruksi menimbulkan bangkitan lalu-lintas yang menjadi salah
satu penyebab permasalahan sistem transportasi
isu-isu lainnya yang tidak kalah penting dalam menata Kota Banda
Aceh ke depan antara lain adalah sebagai berikut :
·
Faktor historis (sejarah), bahwa Kota
Banda Aceh merupakan pusat kerajaan Aceh yang ditandai dengan peninggalan
sejarah (heritage), seperti kawasan Gampong Pande sebagai pusat kerajaan,
makammakam raja, taman Putroe Phang, Gunongan, Pinto Khop, Kerkhof, Taman Sari,
Kawasan Blang Padang (monumen pesawat pertama RI dan bekas stadion Kutaraja),
Krueng Aceh sebagai tempat sarana transportasi air hingga ke Indrapuri (Aceh
Besar) yang juga merupakan kawasan kerajaan tempo dulu, dan sebagainya.
·
Secara geografis merupakan ibukota
Provinsi Aceh, yang mempunyai fungsi pelayanan pemerintahan, perkantoran,
perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan.
·
Kota Banda Aceh merupakan kota hirarki
I di Provinsi Aceh dengan wilayah pengembangan Kota Sabang, Kabupaten Aceh
Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya.
·
Kota Banda Aceh merupakan pusat
keagamaan (Islamic Centre) di
Provinsi Aceh.
·
Kota Banda Aceh merupakan pusat
pengembangan wisata yang berbasis masyarakat dan budaya Islami, yang meliputi
wisata alam (wisata pantai, bahari, pemancingan, arena perkemahan, play ground,
dan sebagainya), wisata budaya dan spiritual, wisata tsunami, wisata kuliner,
wisata pendidikan, dan sebagainya.
·
Kota Banda Aceh merupakan pusat
pengembangan pendidikan yang berkualitas.
·
Pertumbuhan ekonomi kota yang
merangsang tumbuhnya aktivitas pembangunan pada kawasan baru yang selama ini
diperuntukkan sebagai kawasan non komersial dan jasa.
·
Pengembangan kota yang berbasis program
“Water Front City” terutama pada
kawasan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh dan Krueng-krueng
lainnya yang melintasi Kota Banda Aceh, dengan harapan agar kelestarian dan
keindahan lingkungan sungai tetap terjaga serta mempunyai nilai jual dan
ekonomi yang tinggi.
·
Mitigasi bencana, yang bertujuan agar
pola pengembangan ruang ke depan dapat menjamin keamanan dan kenyamanan dengan
menyediakan ruang (space) sebagai
jalur, areal maupun bangunan penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman
apabila kemungkinan terjadinya bencana gempa dan tsunami.
·
Pengaruh kerjasama regional dan
internasional seperti IMTGT (Indonesia,
Malaysia, Thailand Growth Triangle), WTO (Word Trade Organization) Tahun 2020, dan kebijakan nasional
pengembangan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu), akan menjadi pemicu
terhadap kesiapan Kota Banda Aceh dalam menghadapi pengaruh kebijakan global tersebut.